Negara
manapun tidak akan berarti dan tegak tanpa adanya kesatuan dan dukungan
umatnya. Sementara itu, kesatuan dan dukungan tidak akan lahir tanpa
adanya saling bersaudara dan mencintai.
Setelah bangunan masjid berdiri di Madinah, Rasulullah saw kemudian mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar atas dasar kebenaran dan rasa persamaan. Mereka bahkan dipersaudarakan untuk mewarisi sepeninggal mereka sehingga pengaruh ukhuwah Islamiyah lebih kuat dan membekas daripada pengaruh ikatan darah (keluarga/kekerabatan).
Ukhuwah ini juga didasarkan pada prinsip-prinsip material, di antaranya ialah ditetapkannya prinsip saling mewarisi sesama mereka. Ikatan-ikatan persaudaraan ini tetap didahulukan daripada hak-hak kekeluargaan sampai terjadi Perang Badar Kubra ketika diturunkan Surat Al Anfal ayat 75 yang menghapuskan hukum yang berlaku sebelumnya sehingga dengan turunnya ayat ini terhapuslah pengaruh ukhuwah Islamiyah dalam hal waris mewarisi. Setelah itu, setiap orang kembali kepada nasab kerabatnya masing-masing. Selanjutnya, abadilah persaudaraan sesama kaum Muslimin.
Persaudaraan yang ditegakkan Rasulullah saw di antara para sahabatnya bukan sekedar syiar yang diucapkan, melainkan merupakan kenyataan yang terlihat dalam realitas kehidupan dan menyangkut segala bentuk hubungan yang berlangsung antara Muhajirin dan Anshar.
Karena itu, Rasulullah saw menjadikan ukhuwah ini sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara bersama. Tanggung jawab ini telah dilaksanakan oleh mereka dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, cukuplah disebutkan apa yang dilakukan oleh Sa’ad bin Rabi’ yang dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Abdurrahman bin Auf untuk mengambil separuh dari kekayaan yang dimilikinya, bahkan ia sampai ingin menceraikan salah seorang istrinya untuk kemudian diserahkan kepada Ibnu Auf. Sikap persaudaraan ini tidak hanya dilakukan dan ditunjukkan oleh Sa’ad bin Rabi’, tetapi dilakukan oleh semua sahabat dalam melakukan hubungan dab solidaritas sesama mereka, khususnya setelah hijrah dan setelah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw.
Karena itu pula, Allah SWT menjadikan hak waris berdasarkan ikatan ukhuwah ini, tanpa ikatan keluarga dan kerabat. Di antara hikmah pensyariatan ini ialah untuk menampakkan ukhuwah Islamiyah sebagai hakikat yang dirasakan secara nyata. Juga supaya diketahui dan disadari bahwa ikatan persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim bukan sekadar slogan yang diucapkan, melainkan lebih dari itu merupakan suatu kewajiban yang memiliki berbagai konsekuensi sosial.
Menyangkut hikmah dihapuskannya hak waris berdasarkan ukhuwah ini, ternyata sistem pembagian warisan pada akhirnya ditetapkan pun tidak jauh berbeda. Hal ini karena sistem pembagian warisan yang secara final ditetapkan juga didasarkan pada hukum ukhuwah Islamiyah, yakni orang yang berlainan agama tidak boleh saling mewarisi.
Selama masa pertama hijrah, masing-masing dari kaum Muhajirin dan Anshar harus menghadapi tanggung jawab khusus berupa saling menolong dan saling memberi perlindungan karena perpindahan kaum Muhajirin ke Madinah meninggalkan keluarga, rumah, dan harta kekayaan mereka di Makkah. Untuk menjamin terlaksananya tanggung jawab inilah, Rasulullah saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dengan konsekuensi dan tuntutan tanggung jawabnya. Tanggung jawab itu adalah bahwa ukhuwah tersebut harus lebih kuat pengaruhnya daripada jalinan kerabat.
Setelah kaum Muhajirin menetap di Madinah dan semangat Islam menjadi detak jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat baru, tibalah saatnya untuk mencabut sistem hubungan kaum Muhajirin dan Anshar yang selama ini diberlakukan. Hal ini karena di bawah naungan ukhuwah Islamiyah dengan berbagai tanggung jawab yang mereka hayati, sirnalah segala kekhawatiran akan timbulnya perpecahan di kalangan mereka. Tak perlu dikhawatirkan lagi jika hubungan kerabat sesama kaum Muhajirin kembali diakui pengaruhnya di samping ikatan Islam dan ukhuwah Islamiyah.
Di samping itu, sesungguhnya sebelum mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar ini, Rasulullah saw telah mempersaudarakan antar sesama kaum Muhajirin di Makkah. Ibnu Adil Barr berkata, “Persaudaraan ini diadakan dua kali. Pertama, antar sesama kaum Muhajirin secara khusus di Makkah. Kedua, antar kaum Muhajirin dan kaum Anshar di Madinah.”
Hal ini menegaskan kepada kita bahwa asas ukhuwah ialah ikatan Islam. Hanya saja, setelah hijrah perlu diperbaharui dan ditegaskan kembali karena tuntutan situasi dan pertemuan kaum Muhajirin dan Anshar di satu negara (Madinah). Persaudaraan ini tidak berbeda dari ukhuwah yang didasarkan pada ikatan Islam dan kesatuan aqidah, bahkan merupakan penegasan secara aplikatif terhadapnya. Wallahu a’lam.
red: shodiq ramadhan
Setelah bangunan masjid berdiri di Madinah, Rasulullah saw kemudian mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar atas dasar kebenaran dan rasa persamaan. Mereka bahkan dipersaudarakan untuk mewarisi sepeninggal mereka sehingga pengaruh ukhuwah Islamiyah lebih kuat dan membekas daripada pengaruh ikatan darah (keluarga/kekerabatan).
Ukhuwah ini juga didasarkan pada prinsip-prinsip material, di antaranya ialah ditetapkannya prinsip saling mewarisi sesama mereka. Ikatan-ikatan persaudaraan ini tetap didahulukan daripada hak-hak kekeluargaan sampai terjadi Perang Badar Kubra ketika diturunkan Surat Al Anfal ayat 75 yang menghapuskan hukum yang berlaku sebelumnya sehingga dengan turunnya ayat ini terhapuslah pengaruh ukhuwah Islamiyah dalam hal waris mewarisi. Setelah itu, setiap orang kembali kepada nasab kerabatnya masing-masing. Selanjutnya, abadilah persaudaraan sesama kaum Muslimin.
Persaudaraan yang ditegakkan Rasulullah saw di antara para sahabatnya bukan sekedar syiar yang diucapkan, melainkan merupakan kenyataan yang terlihat dalam realitas kehidupan dan menyangkut segala bentuk hubungan yang berlangsung antara Muhajirin dan Anshar.
Karena itu, Rasulullah saw menjadikan ukhuwah ini sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara bersama. Tanggung jawab ini telah dilaksanakan oleh mereka dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, cukuplah disebutkan apa yang dilakukan oleh Sa’ad bin Rabi’ yang dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Abdurrahman bin Auf untuk mengambil separuh dari kekayaan yang dimilikinya, bahkan ia sampai ingin menceraikan salah seorang istrinya untuk kemudian diserahkan kepada Ibnu Auf. Sikap persaudaraan ini tidak hanya dilakukan dan ditunjukkan oleh Sa’ad bin Rabi’, tetapi dilakukan oleh semua sahabat dalam melakukan hubungan dab solidaritas sesama mereka, khususnya setelah hijrah dan setelah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw.
Karena itu pula, Allah SWT menjadikan hak waris berdasarkan ikatan ukhuwah ini, tanpa ikatan keluarga dan kerabat. Di antara hikmah pensyariatan ini ialah untuk menampakkan ukhuwah Islamiyah sebagai hakikat yang dirasakan secara nyata. Juga supaya diketahui dan disadari bahwa ikatan persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim bukan sekadar slogan yang diucapkan, melainkan lebih dari itu merupakan suatu kewajiban yang memiliki berbagai konsekuensi sosial.
Menyangkut hikmah dihapuskannya hak waris berdasarkan ukhuwah ini, ternyata sistem pembagian warisan pada akhirnya ditetapkan pun tidak jauh berbeda. Hal ini karena sistem pembagian warisan yang secara final ditetapkan juga didasarkan pada hukum ukhuwah Islamiyah, yakni orang yang berlainan agama tidak boleh saling mewarisi.
Selama masa pertama hijrah, masing-masing dari kaum Muhajirin dan Anshar harus menghadapi tanggung jawab khusus berupa saling menolong dan saling memberi perlindungan karena perpindahan kaum Muhajirin ke Madinah meninggalkan keluarga, rumah, dan harta kekayaan mereka di Makkah. Untuk menjamin terlaksananya tanggung jawab inilah, Rasulullah saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dengan konsekuensi dan tuntutan tanggung jawabnya. Tanggung jawab itu adalah bahwa ukhuwah tersebut harus lebih kuat pengaruhnya daripada jalinan kerabat.
Setelah kaum Muhajirin menetap di Madinah dan semangat Islam menjadi detak jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat baru, tibalah saatnya untuk mencabut sistem hubungan kaum Muhajirin dan Anshar yang selama ini diberlakukan. Hal ini karena di bawah naungan ukhuwah Islamiyah dengan berbagai tanggung jawab yang mereka hayati, sirnalah segala kekhawatiran akan timbulnya perpecahan di kalangan mereka. Tak perlu dikhawatirkan lagi jika hubungan kerabat sesama kaum Muhajirin kembali diakui pengaruhnya di samping ikatan Islam dan ukhuwah Islamiyah.
Di samping itu, sesungguhnya sebelum mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar ini, Rasulullah saw telah mempersaudarakan antar sesama kaum Muhajirin di Makkah. Ibnu Adil Barr berkata, “Persaudaraan ini diadakan dua kali. Pertama, antar sesama kaum Muhajirin secara khusus di Makkah. Kedua, antar kaum Muhajirin dan kaum Anshar di Madinah.”
Hal ini menegaskan kepada kita bahwa asas ukhuwah ialah ikatan Islam. Hanya saja, setelah hijrah perlu diperbaharui dan ditegaskan kembali karena tuntutan situasi dan pertemuan kaum Muhajirin dan Anshar di satu negara (Madinah). Persaudaraan ini tidak berbeda dari ukhuwah yang didasarkan pada ikatan Islam dan kesatuan aqidah, bahkan merupakan penegasan secara aplikatif terhadapnya. Wallahu a’lam.
red: shodiq ramadhan
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !